Breaking News
Sajian informasi global yang menyajikan berita dari berbagai negara, mulai dari konflik, diplomasi, ekonomi dunia, hingga perkembangan budaya internasional.
Telkomsel Telkomsel Telkomsel Telkomsel

Amuntai 1953: Titik Balik Perjuangan Politik Islam di Indonesia

cek disini

Amuntai 1953: Luka yang Membuka Mata dan Semangat Islam untuk Negeri

Inews Amuntai- Amuntai 1953. Di tengah terik matahari Kalimantan Selatan, ribuan umat Islam tumpah ruah di Kota Amuntai, menyambut sosok besar yang mereka hormati sekaligus harapkan: Presiden Soekarno. Namun alih-alih menyulut harapan dan kebanggaan, satu pidato dari Bung Karno justru menjadi awal dari kekecewaan mendalam yang meninggalkan luka di hati umat Islam—luka yang terus menjadi pengingat akan pentingnya suara dan perjuangan Islam dalam bernegara.

Dalam pidatonya di hadapan masyarakat Amuntai, Soekarno menyatakan:

“Jika negara kita menjadi negara Islam, maka Maluku, Bali, Flores, Timor, dan beberapa daerah lain yang non-Muslim akan memisahkan diri dari Republik. Maka negara kita haruslah negara nasional, bukan negara Islam.”

Pernyataan tersebut tidak hanya menolak ide negara Islam, tetapi secara tidak langsung menyampaikan pesan bahwa Islam—agama mayoritas rakyat Indonesia—adalah potensi ancaman terhadap keutuhan bangsa. Sebuah vonis sepihak yang menyakitkan, terutama bagi umat yang sejak awal telah menjadi pilar utama dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Amuntai 1953: Titik Balik Perjuangan Politik Islam di Indonesia
Amuntai 1953: Titik Balik Perjuangan Politik Islam di Indonesia

Baca Juga : Wedgwood di Museum of Ceramics

Reaksi Umat Islam: Suara yang Tak Bisa Dibungkam

Pidato Bung Karno di Amuntai sontak menuai gelombang kritik keras dari berbagai tokoh dan organisasi Islam.

  • KH. Wahid Hasyim dari Nahdlatul Ulama (NU) menyebut pernyataan tersebut sebagai bentuk kemungkaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan prinsip bernegara.

  • Kiai Sirajuddin Abbas dari Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) menilai pidato itu sebagai bentuk adu domba yang mengganggu ketenangan umat.

  • Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dengan tegas menyatakan bahwa justru Soekarno-lah yang menanam benih separatisme, bukan umat Islam.

  • M. Isa Anshari dari Partai Masyumi menilai pidato itu bertentangan dengan prinsip demokrasi dan mengabaikan aspirasi mayoritas umat.

Momen di Amuntai menjadi titik balik. Umat Islam mulai menyadari bahwa perjuangan untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bernegara tidak boleh setengah hati. Mereka tak bisa lagi berharap bahwa keadilan akan datang dari atas tanpa suara yang tegas dari bawah.

Islam Tak Akan Zalim: Menjawab Ketakutan yang Tak Berdasar

Pertanyaan yang sejak lama menghantui banyak umat pun muncul kembali: Mengapa Islam, yang menjadi napas kehidupan mayoritas rakyat Indonesia, justru dianggap sebagai ancaman?

Islam tak pernah mengajarkan kezaliman. Sebaliknya, ajaran Islam berdiri kokoh di atas fondasi keadilan sosial, persaudaraan lintas iman, dan penghormatan terhadap hak individu. Sejarah panjang peradaban Islam membuktikan hal ini. Di Madinah, di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, umat Yahudi dan non-Muslim hidup damai dalam Piagam Madinah. Di Andalusia, Damaskus, hingga Istanbul, kekuasaan Islam melindungi hak beragama dan kebebasan komunitas non-Muslim selama berabad-abad.

Lantas, mengapa Indonesia harus meragukan kemampuan Islam dalam menciptakan keadilan dan harmoni?

KH. Wahid Hasyim: Ulama, Pemimpin, dan Pejuang Keadilan

Di tengah derasnya arus kritik, KH. Wahid Hasyim berdiri sebagai sosok yang tenang namun tegas. Ia menulis surat terbuka kepada Presiden Soekarno, menyatakan bahwa pidato di Amuntai tidak dibenarkan oleh syariat dan bertentangan dengan semangat keadilan dalam Islam.

Lebih jauh, KH. Wahid Hasyim bahkan mengusulkan agar Presiden Republik Indonesia seyogianya berasal dari kalangan Muslim—bukan sebagai bentuk diskriminasi, melainkan sebagai representasi aspirasi mayoritas rakyat yang ingin dipimpin oleh sosok yang menjunjung tinggi nilai dan etika Islam dalam menjalankan amanah.

Dalam pandangan beliau, hal tersebut bukan bentuk dominasi, tetapi cerminan tanggung jawab. Islam tidak mengeksklusifkan, justru ia memeluk semua golongan dengan kasih sayang dan keadilan. Negara yang dipimpin dengan nilai-nilai Islam sejatinya akan menjadi rumah besar yang nyaman bagi semua rakyatnya, tanpa membedakan keyakinan maupun latar belakang.

Pelajaran dari Amuntai: Menguatkan Akar, Menjaga Nilai

Amuntai bukan sekadar kisah luka. Ia adalah pengingat penting bahwa perjuangan umat Islam dalam bernegara harus terus hidup dan menyala. Bahwa suara keadilan, nilai-nilai syariat, dan semangat ukhuwah Islamiyah harus tetap menjadi fondasi dalam membangun masa depan bangsa.

Islam bukan ancaman. Islam adalah cahaya peradaban. Maka jangan pernah lelah untuk menyuarakan kebenaran. Seperti yang diajarkan para ulama terdahulu, termasuk KH. Wahid Hasyim: bahwa negara dan Islam bukan dua kutub yang bertentangan, melainkan dua unsur yang bisa berjalan bersama—asal dilandasi kejujuran, kebijaksanaan, dan keadilan.

telkomsel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *